MengutipModul Bahasa Indonesia SD Kelas V terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pantun adalah karya sastra yang sarat akan makna, kritik serta ide-ide kreatif yang padat kandungan maknanya. Sementara itu, pantun nasihat adalah pantun yang mengandung ajaran-ajaran baik yang disebut nasihat.Pantun Karya Nenek Moyang – Setiap bangsa memiliki cara penyampaian puitik yang berbeda-beda tentang pikiran, perasaan, tanggapan terhadap lingkungan sekitar. Bangsa Jepang memiliki Haiku dan Tanka, sedangkan Bangsa Eropa mengistilahkannya dengan sebutan Soneta dan Kuatrin. Begitu pula dengan Bangsa Melayu yang memiliki pantun karya nenek moyang sebagai wadah penyampaian puitiknya. Berbicara tentang pantun, warisan budaya ini sudah umum dikenal oleh masyarakat. Sejak kecil, anak-anak Melayu sudah dikenalkan dengan sastra lama ini. Pantun yang identik dengan pengungkapan pikiran, perasaan, tumbuh dan berkembang bersama budaya masyarakat. Berikut ini penjelasan tentang sejarah pantun nenek moyang, ciri-ciri, serta contohnya Sejarah Lahirnya Pantun Karya Nenek Moyang Pantun merupakan sajak populer yang lahir dan berkembang dalam masyarakat Melayu. Tidak banyak yang tahu kapan tepatnya pantun lahir dan tercipta. Tidak ada bukti konkret tertulis tentang asal muasal dan bagaimana pantun terlahir. Abdul Jamal, seorang ahli sufi dan penyair pada abad ke-17 M menyebutkan pantun sebagai puisi yang biasa dilantunkan secara spontan. Penyampaian pantun secara lisan memiliki makna beragam, seringkali pantun dijadikan sebagai cara menyindir, berseloroh atau menghibur diri dan orang lain. Perkembangan pantun dari masa ke masa sangat dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat. Bentuk pantun pada zaman dahulu sudah jauh berbeda dengan yang dijumpai pada masa kini. Pantun lahir, berkembang dan populer di tengah-tengah masyarakat. Sudah pasti bentuk dan strukturnya terpengaruh oleh budaya dan perilaku masyarakat yang terus berkembang. Mengenali jenis pantun dapat dilihat dari ciri-cirinya. Baca Juga Pantun Kecewa Ciri-ciri Pantun Karya Nenek Moyang Sastra lama yang disampaikan secara lisan dan turun-temurun tidak akan memiliki wujud yang tetap. Ada banyak faktor yang mempengaruhi dan membuatnya berubah. Perubahan tersebut yang menjadikan pantun nenek moyang berbeda dengan pantun modern, meskipun secara struktur sajak masih tetap sama. Beberapa ciri yang sangat membedakan pantun dahulu adalah sebagai berikut 1. Memiliki Tema Adat-Istiadat, Kebiasaan dan Nasehat Hidup Ciri yang pertama sangat sesuai dengan fakta bahwa pantun terbentuk dan berkembang berdampingan dengan masyarakat. Hal ini menjadikan pantun memiliki kaitan dan terpengaruh dengan budaya setempat. Tema pantun biasanya berasal dari hal-hal di sekitar misalnya adat-istiadat masyarakat. Sebagai sastra lama, pantun mulanya hanya disebarkan melalui lisan, misalnya dalam ceramah keagamaan, acara adat ataupun dari orang tua kepada anaknya. Seorang ibu yang sedang menimang buah hatinya dengan spontan akan mengucapkan kalimat bersajak untuk memberi pengajaran. Contoh lainnya pada perkumpulan agama maupun adat, pantun biasa digunakan sebagai pembuka acara. 2. Menggunakan Kosa Kata Lama Mengenali pantun karya nenek moyang paling mudah jika dilihat dari kosa kata yang digunakannya. Bahasa lisan dan tulisan manusia mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perubahan dan perkembangan tersebut juga mempengaruhi perkembangan pantun. Pantun yang dibuat oleh nenek moyang biasanya menggunakan bahasa Indonesia yang diadaptasi dari Bahasa Melayu. Penggunaan bahasa tersebut sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia yang digunakan saat ini. Sehingga, pantun tersebut akan terdengar berbeda dan sulit dimengerti. 3. Menggunakan Peribahasa dan Kiasan Pantun karya nenek moyang lebih sarat makna dan ajaran. Penyusunan dan pemilihan kata jauh berbeda dengan pantun modern saat ini. Dahulu pantun sangat identik dengan penggunaan peribahasa sebagai isi pantun. Banyak pula pantun yang menggunakan kata kiasan untuk menyusun baitnya. Pantun yang menggunakan peribahasa lebih sulit untuk dipahami maknanya. Perlu ditelaah terlebih dahulu agar makna yang ingin disampaikan dimengerti dengan baik. Penggunaan kata kiasan juga memiliki arti yang kurang jelas dan tidak to the point. Pantun nasehat yang dibuat oleh nenek moyang dengan kata kiasan atau peribahasa lebih sulit dipahami. Berbeda dengan pantun modern dengan tema serupa yang dibuat dengan makna lebih jelas dan mudah dipahami. 4. Mengandung Isi/Makna Nilai Sosial dan Nilai Moral Selain penggunaan bahasa yang berbeda, pantun karya nenek moyang identik dengan makna nilai sosial dan moral. Pantun lama yang merupakan hasil pemikiran dan perasaan dan tanggapan terhadap kehidupan sehari-hari juga mempengaruhi maknanya. Makna sastra lisan ini tidak akan jauh dari nilai sosial dan moral kehidupan bermasyarakat. Pantun dengan makna nilai sosial umumnya mengajarkan tentang tindakan dan perilaku baik yang disarankan pada pendengarnya. Penyampaian pantun bertujuan untuk memberi informasi dan pelajaran tentang tata cara hidup bermasyarakat. Misalnya, saling menghargai sesama dan tolong menolong. Sedangkan pantun lama yang bermakna nilai moral mengajarkan tentang cara bersikap sesuai dengan norma kehidupan. Aturan norma tersebut terbentuk secara tidak langsung berdasarkan kebiasaan yang dianut masyarakatnya. Misalnya sopan santun dan tata krama dalam bertingkah laku kepada orang yang lebih tua. Contoh Pantun Karya Nenek Moyang Serta Penjelasan Maknanya Sebagai salah satu bentuk puisi lama, pantun disebarkan secara lisan hampir pada setiap penjuru tanah air. Pantun yang disampaikan secara lisan akan lebih berkesan, lebih menarik untuk didengarkan, dan mendapat respon secara langsung pula. Berikut ini beberapa contoh pantun lama karya nenek moyang yang biasanya diperdengarkan secara lisan serta maknanya 1. Pantun Bertema Budi Baik dan Kebiasaan Manusia Manusia tumbuh dan hidup dalam lingkungan sosial. Dalam bertingkah laku, manusia mengenal hal yang disebut budi baik dan kebiasaan. Kedua hal tersebut tumbuh dan dipelajari serta digunakan selama hidup. Pada zaman dahulu, pelajaran kehidupan tersebut diungkapkan dalam bentuk pantun. Misalnya seperti berikut ini Pulau tua ada di tengah Letak di balik Angsa terlihat Hancur jasad di dalam tanah Budi baik hanya satu diingat Pantun diatas memiliki makna tentang budi baik dan adab berperilaku. Pada bagian sampiran baris 1 dan 2, bercerita tentang alam, kondisi geologi suatu tempat, dan hal duniawi. Pada bagian isi baris 3 dan 4 melukiskan tentang peristiwa tersirat yang tidak kasat mata. Kalimat “hancur jasad di dalam tanah” menjadi kiasan kondisi seseorang yang telah meninggal dan lepas dari kehidupan dunia. Berikutnya yakni “budi baik hanya satu diingat” adalah pengajaran yang ingin disampaikan melalui pantun tersebut. Bahwasanya seorang yang telah tiada meninggal tidak akan menyisakan apapun untuk dikenang kecuali budi baik selama masih di dunia. Buah pisang bawa berlayar Sampai matang di atas guci Hutang emas dapat di bayar Hutang budi kekal sampai mati Makna pantun di atas adalah tentang budi baik yang tidak bisa dibalas. Hutang piutang barang di dunia bisa dibayar atau diganti. Berbeda dengan hutang budi. Hutang budi tidak bisa dilihat dan tidak berwujud. Tidak ada ukuran seberapa besar balas budi. Oleh sebab itu, hutang budi akan dibawa sampai mati. Baca Juga Pantun Keluarga 2. Pantun Bertema Nasehat Kehidupan Selain pantun bertema budi baik dan kebiasaan, ada pula pantun lama dengan tema nasehat kehidupan. Pantun jenis ini umumnya berisi nasehat-nasehat atau pelajaran hidup. Tujuannya untuk memberitahukan hal baik dan buruk agar tidak orang lain tidak salah melangkah. Contoh pantun lama bertema nasehat sebagai berikut Air surut memetik bayam Sayur dibawa gunakan kantung Jangan tiru tabiat ayam Bertelur sebiji ramai sekampung Makna yang terkandung dalam pantun lama di atas adalah nasehat kehidupan tentang nilai-nilai moral dalam masyarakat. Ayam yang berkokok riuh saat bertelur, entah banyak atau sedikit telur yang dihasilkan. Kebiasaan ayam tersebut menjadi tabiat dan akan selalu melekat pada dirinya. Sebagai manusia yang berakal budi, hendaknya tidak mencontoh tabiat ayam. Kebiasaan banyak bicara sedikit hasil adalah perilaku yang kurang baik. Misalnya manusia yang memiliki sedikit prestasi atau keberhasilan, jangan langsung diumbar-umbarkan pada orang lain. Nilai moral tentang adab bertingkah laku sangat membedakan manusia yang berakal dengan hewan tidak berakal. Tidak salah kayu terapung Salahnya pandan bila menderita Takkan salah ibu mengandung Lihatlah diri terlalu meminta Makna barisan pantun diatas adalah pandangan tentang seburuk apapun hidup seseorang, tidak benar jika mencari pembelaan apalagi menyalahkan hal lain. Menyalahkan takdir atau kelahiran atas nasib buruk yang diterima tidak benar untuk dilakukan. Baik dan buruknya hidup seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri. 3. Pantun Bertema Adat Istiadat Pantun nenek moyang yang diadaptasi dari bahasa Melayu mengekspresikan kearifan lokal dan adat-istiadat orang Melayu. Cinta kasih dan kritik sosial juga sering dijadikan tema pantun lama. Misalnya contoh pantun berikut Tak ada guna buah pepaya Kalau tidak legit dagingnya Tak ada guna tingkah dan gaya Kalau bahasa tidak dimilikinya Bangsa Melayu sangat menjunjung tinggi adat-istiadat dan kesopanan. Budi bahasa sebagai bentuk sopan santun lebih penting dibandingkan tingkah dan gaya hal duniawi. Hal ini sejalan dengan aturan dalam agama. Islam mengajarkan bahwa seseorang tidak dinilai berdasarkan penampilan luarnya saja, banyaknya harta atau tingginya jabatan yang dimiliki. Lebih dari itu, orang dinilai dari pengetahuan dan ilmu yang dikuasai. Misalnya cara bertutur kata menyampaikan pendapat dan gagasan. Hal sederhana ini akan membedakan kelas seseorang di mata orang lain. Perilaku yang baik, sopan santun akan lebih disukai dan terpandang daripada hanya bermodal harta tanpa ilmu dan adab. Ikan nila mudah terpantau Katak loncat terkena duri Siapa hidup di tanah rantau Baik-baik membawa diri Contoh lain dari pantun karya nenek moyang yang berisi nasehat terlihat pada penggalan pantun di atas. Bercerita tentang kehidupan perantauan, nasehat baik disampaikan agar seseorang selalu menjaga diri dan berbuat baik dimanapun berada. Berada jauh dari kampung halaman, seorang perantau harus bisa membawa diri dengan baik. Tidak hanya menyesuaikan dengan kondisi fisik tempat tinggal baru, tapi lebih jauh tentang kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Sebagai pendatang hendaknya menjadi pihak yang lebih aktif dalam menyesuaikan diri. Mencari cara agar dapat berbaur dan mengenal kebiasaan di tempat baru. Tidak lupa juga norma-norma yang berlaku dan adat istiadat setempat. Baca Juga Pantun Kemerdekaan 4. Pantun Bertema Kritik Sosial Selain pantun bertema nasehat dan adat diatas, ada pula pantun lama yang terbentuk atas dasar pemikiran dan tanggapan terhadap kondisi kehidupan. Pantun ini diutarakan sebagai kritikan atau pernyataan ketidakpuasan terhadap norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Contohnya sebagai berikut Sudah puas ku tanam ubi Nanas juga dilihat orang Sudah banyak ku tabur budi Emas lebih dipandang orang Kata nanas dan ubi berperan sebagai kiasan tentang hal lahiriah yang melekat pada diri seseorang. Ubi sebagai budi, hal penting yang tersembunyi selayaknya tanaman ubi dalam tanah. Sedangkan nanas, sebagai buah yang tumbuh di atas tanah akan lebih dipandang dan terlihat. Nanas diibaratkan emas, harta benda sebagai wujud kegemaran duniawi manusia. Penutup Pantun di atas hendak menyampaikan sebuah pesan tentang sebuah norma sosial yang kadang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa orang lebih suka melihat martabat seseorang emas dan harta benda secara tampilan lahiriah. Dibandingkan budi baik dan tingkah laku yang tidak tampak, meskipun perannya lebih penting. Demikian pembahasan mengenai pantun karya nenek moyang yang sudah ada dan dikenal sejak dahulu kala. Meskipun asal-muasal terciptanya tidak pernah ada keterangan pasti, tapi keberadaannya sudah mendarah daging dalam masyarakat. Sebagai bagian dari warisan budaya dari nenek moyang, sudah sepantasnya pantun menjadi hal yang dilindungi dan dilestarikan. Pantun Karya Nenek Moyang
Bagaimanapuisi puisi kritik politik sosial dan alam dalam bait puisi kritikan yang dipublikasikan lebih jelasnya disimak saja dibawah ini, diawali dari puisi kritik sosial pemerintah. #1. PUISI KRITIK SOSIAL PEMERINTAH. Bagian pertama tentang puisi kritikan adalah puisi kritikan pemerintah atau puisi kritik pemerintah yag berisikan puisi kritik politik, bagaimana kata kata kritik sosial terhadap pemerintah dalam bait puisi kritikan pemimpin ini, untuk lebih jelasnya
Setiap konten kreator memiliki ciri khas masing-masing dalam membuat sebuah karya. Salah satunya, konten kreator yang aktif dalam dunia digital yakni Rijal Djamal. Konten yang ditampilkannya berbeda dengan banyak konten kreator lainnya. Rijal lebih sering membuat konten kritikan dengan cara yang 'santun' menggunakan pantun. Jika menelisik akun instagram rijalsystem dan channel youtubenya rijaldjamal berbagai konten kritik disampaikannya. Sebagian besar konten tersebut bertema politik, sosial namun diselipkan dengan nilai seni seperti pantun. Seperti disampaikannya kepada Tribun Timur, pantun adalah seni penyampaiannya yang menurutnya unik dan sudah melekat pada dirinya sejak duduk di bangku SMP. Selain itu, alasan sebagai anak muda juga melatar belakangi dirinya yang selalu hadir dengan kritikan. "Saya ini anak muda. Anak muda adalah kritis kalau ada anak muda tidak kritis dia bagian kehancuran dari bangsa," jelasnya. Ia juga ingin menggabungkan dunia digital dengan sisi idelisme yang ada pada dirinya. "Makanya kalau saya mengkritik lewat karya, karena sasarannya untuk kaum rebahan dan anak-anak warkop yang punya kesempatan melihat konten saya," pungkasnya. Data Diri Data Diri Nama Lengkap Muh. Rijal Djamal
Inilahpantun berbalas kritik sosial dan ulasan lain mengenai hal-hal yang masih ada kaitannya dengan pantun berbalas kritik sosial yang Anda cari. Berikut ini tersedia beberapa artikel yang menjelaskan secara lengkap tentang pantun berbalas kritik sosial .Uploaded byU2003805 STUDENT 0% found this document useful 0 votes1 views10 pagesCopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes1 views10 pagesKritik Sosial Dalam Pantun MelayuUploaded byU2003805 STUDENT Full descriptionJump to Page You are on page 1of 10Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 5 to 9 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. 16Pantun Nasihat Bahasa Betawi, Penuh Makna dan Bisa Dijadikan Konten di Media Sosial Kumpulan Pantun Cinta Lucu, Berisi Pesan Romantis yang Menghibur, Bisa Luluhkan Hati Doi 20 Pantun Peribahasa Penuh Makna, Jadikan Sindiran ke Teman yang Suka Pinjam Uang Criticisms in traditional Malay works are produced in various forms, and usually, the criticisms are not conveyed in an explicit or blunt manner. Therefore, the language used to convey the criticisms is figurative language filled with similes and metaphors. These forms of criticisms can be observed in proverbs, pantuns, and other forms of poems, songs, tales of humour and of animals, folktales, sagas, and historical literature. Social criticisms through metaphorical elements in poems are able to depict the wisdom of the Malays in the times of old. This paper aims to identify the metaphorical elements found in pantuns and analyse the social criticisms and values in them based on the Relevance theory. It will see how metaphors in pantuns play the role of social critics. Data used for this study is from a book by Tenas Effendy 2004 titled Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu, published in Yogyakarta by Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. This study will apply the Relevance theory, where this theory emphasises the processing of information and is able to assist readers to understand the metaphorical elements that are scientifically represented. Thus, social criticisms that exist in traditional Malays pantuns are not only for entertainment purposes but also carry a far deeper meaning. Pantuns have metaphorical elements where they are able to create cynical and sharp criticisms. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 31 INTERNATIONAL JOURNAL OF CREATIVE INDUSTRIES IJCREI METAFORA SEBAGAI KRITIKAN SOSIAL DALAM PANTUN MEMBENTUK NILAI INSAN METAPHORS IN PANTUNS AS SOCIAL CRITICISM IN FORMING HUMAN VALUES Mazarul Hasan Mohamad Hanapi 1*, Norazimah Zakaria2, Abu Zarrin Selamat3, Norfaizah Abdul Jobar4 Fakulti Pembangunan Manusia, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia Email mazarul Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia Email norazimah Fakulti Sains Kemanusiaan, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia Email zarrin Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia Email Article Info Article history Received date Revised date Accepted date Published date To cite this document Hanapi, M. H. M., Zakaria, N., Selamat, A. Z., & Jobar, N. A.. 2021. Metafora Sebagai Kritikan Sosial Dalam Pantun Membentuk Nilai Insan. International Journal of Creative Industries, 3 6, 31-41. DOI This work is licensed under CC BY Abstrak Kritikan dalam karya Melayu tradisional dihasilkan dalam pelbagai bentuk, dan lazimnya kritikan itu tidak disampaikan secara eksplisit atau terang-terangan. Sehubungan itu, bahasa yang digunakan untuk menyampaikan kritikan itu adalah bahasa figuratif yang penuh dengan kias ibarat dan metafora. Bentuk kritikan ini boleh dilihat dalam peribahasa, pantun, syair, seloka, cerita jenaka, cerita binatang, cerita lipur lara, hikayat dan juga sastera berunsur sejarah. Kritikan sosial dalam pantun melalui unsur metafora dapat menggambarkan ketinggian akal budi orang Melayu pada zaman dahulu. Kajian ini bertujuan mengenal pasti unsur metafora yang terdapat dalam pantun dan menganalisis kritikan sosial dan nilai dalam pantun berdasarkan teori Relevans. Ia akan melihat bagaimana metafora dalam pantun boleh berperanan sebagai kritikan sosial. Data yang digunakan ialah buku oleh Tenas Effendy 2004 yang bertajuk Tunjuk Ajar dalam pantun Melayu, diterbitkan di Yogyakarta oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. Kajian ini akan menggunakan Teori Relevans. Teori ini mementingkan pemprosesan maklumat dan mampu membantu pembaca memahami unsur metafora yang dilakarkan dengan saintifik. Justeru, kritikan sosial yang wujud dalam pantun Melayu tradisional bukanlah datang sebagai sebuah hiburan semata-mata Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 32 sebaliknya mempunyai makna yang lebih mendalam. Pantun ini mempunyai unsur metafora sehingga dapat membentuk kritikan yang sinis dan tajam. Kata Kunci Pantun, Metafora, Teori Relevans, Korpus, Sosial Abstract Criticisms in traditional Malay works are produced in various forms, and usually, the criticisms are not conveyed in an explicit or blunt manner. Therefore, the language used to convey the criticisms is figurative language filled with similes and metaphors. These forms of criticisms can be observed in proverbs, pantuns, and other forms of poems, songs, tales of humour and of animals, folktales, sagas, and historical literature. Social criticisms through metaphorical elements in poems are able to depict the wisdom of the Malays in the times of old. This paper aims to identify the metaphorical elements found in pantuns and analyse the social criticisms and values in them based on the Relevance theory. It will see how metaphors in pantuns play the role of social critics. Data used for this study is from a book by Tenas Effendy 2004 titled Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu, published in Yogyakarta by Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. This study will apply the Relevance theory, where this theory emphasises the processing of information and is able to assist readers to understand the metaphorical elements that are scientifically represented. Thus, social criticisms that exist in traditional Malays pantuns are not only for entertainment purposes but also carry a far deeper meaning. Pantuns have metaphorical elements where they are able to create cynical and sharp criticisms. Keywords Pantuns, Metaphors, Relevance Theory, Corpus, Social Pengenalan Istilah “kesusasteraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia berkembang daripada kata Sanskrit sastra. Akar kata sas- adalah kata terbitan terbitan bermakna “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Dan akhiran –tra biasanya menunjukkan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran; misalnya silpasastra buku tentang senibina, kavysastra buku tentang puisi “kawi” dan kamasastra sebagai buku tentang seni cinta dan perkasihan. Daripada kata “sastera” terdapat pula susastera. Awalan su- itu daripada bahasa Sanskrit juga yang membawa maksud baik atau indah. Imbuhan -ke dan -an ditambah untuk memperlengkapkan bentuk kata terbitan yang memberikan makna yang padu dan menyeluruh iaitu segala yang tertulis, yang bernilai seni dan estetik dengan maksud memberikan panduan, petunjuk dan pengajaran Harun Mat Piah, 2000 2. Dalam kelompok kesusasteraan Melayu tradisional, pantun merupakan wadah sastera berbentuk lisan yang disampaikan secara turun temurun daripada satu generasi kepada generasi yang berikutnya. Bentuk lisan ini juga dikenali sebagai sastera rakyat. Ia juga terbahagi kepada dua jenis iaitu berbentuk cerita dan bukan cerita. Pantun, peribahasa, teromba, mantera, zikir, gurindam dan lain-lain adalah sastera lisan di bawah kategori bukan cerita. Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 33 Keindahan pantun bukan sahaja terletak pada pilihan kata serta kalimatnya yang berima, tetapi terkandung di dalamnya makna dan falsafah yang sangat baik mewakili pancaran pemikiran masyarakat tradisi dahulu. Terdapat banyak pantun yang terakam di dalamnya tunjuk ajar, atau nasihat dan berkaitan tentang cara hidup beragama, bermasyarakat, dan berkeluarga. Sorotan Literatur Pemikir-pemikir dan pengkaji Melayu telah lama membuat kajian terhadap isu kritikan sosial dalam genre-genre ini, antaranya Mohd. Taib 1988, S. Othman Kelantan 1997, Hassan 2003, Harun 2004, Muhammad 2006, Ahmad Fuad & Zaitul Azma 2007, Zurinah et. al 2008, Zaitul Azma & Ahmad Fuad 2011. Ada antara kajian-kajian ini memberi fokus kepada satu-satu kategori misalnya Muhammad 2006, Ahmad Fuad & Zaitul Azma 2007, Zurinah et. Al 2008, membincangkan kritikan sosial dalam genre pantun, Zaitul Azma & Ahmad Fuad 2011 menyentuh isu etika masyarakat Melayu dalam peribahasa manakala Harun memusat kepada genre prosa. Namun ada juga kajian yang membincangkan isu kritikan sosial dalam karya Melayu tradisional tanpa mengasingkannya mengikut genre, atau semua genre dibincangkan serentak. Sehubungan itu, dapat difahami bahawa genre karya Melayu tradisional hanyalah membezakan bentuknya tetapi pemikiran dan cetusan minda yang menghasilkannya adalah sama. Pantun dan peribahasa tidak menampilkan perbezaan yang besar dari segi bentuknya, kerana peribahasa itu sendiri kadangkala dimasukkan ke dalam pantun. Begitu juga halnya bagi isu kritikan sosial dalam kedua-dua genre ini. Muhammad 2006 menemukan bahawa pantun yang melibatkan konflik dan kritikan lebih banyak datang dalam bentuk peribadi tetapi kurang melibatkan masyarakat sosial. Bagaimanapun, S. Othman Kelantan 1997, Ahmad Fuad & Zaitul Azma 2007, Zurinah et. al 2008 dan Zaitul Azma & Ahmad Fuad 2011 mendapati pantun dan peribahasa juga menjadi salah satu alat kritik sosial dalam masyarakat melalui sindiran, ejekan, kiasan, gurauan dan bantahan. Kritikan ini disampaikan dengan satu objektif iaitu sebagai pesanan, nasihat, pengajaran dan membetulkan kepincangan yang berlaku dalam masyarakat. Teori Relevans yang diasaskan oleh Dan Sperber dan Deidre Wilson pada tahun 1986 melalui buku Relevance Communication and Cognition 1986 menekankan bentuk komunikasi yang dapat difahami antara penutur dengan pendengar. Penutur seharusnya dapat menjamin setiap yang dibualkan itu benar-benar relevan serta mudah untuk difahami oleh pendengar. Tiga konsep penting yang ditekankan oleh Teori Relevans dalam pentafsiran makna ialah konteks, kesan konteks dan kos proses. Dengan itu, konteks haruslah seimbang dengan masa memproses bagi menghasilkan kandungan maklumat yang diharapkan. Metodologi Kajian Kajian ini akan melihat bagaimana metafora dalam pantun boleh berperanan sebagai kritikan sosial. Data yang digunakan ialah buku oleh Tenas Effendy 2004 yang bertajuk Tunjuk Ajar dalam pantun Melayu, diterbitkan di Yogyakarta oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. Kajian ini akan menggunakan Teori Relevans, teori yang mementingkan pemprosesan maklumat mampu membantu pembaca memahami unsur metafora yang dilakarkan dengan saintifik. Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 34 Kajian ini melihat kritikan sosial melalui Teori Relevans dengan menggunakan korpus pantun bagi mensahihkan persepsi di atas. Eksplikatur dan implikatur pada mesej yang hendak disampaikan akan dicungkil bagi memudahkan pemahaman pembaca memahami kritikan sosial yang hendak disampaikan oleh pengarang. Data akan dianalisis menggunakan alat dan acuan linguistik iaitu Teori Relevans, iaitu teori yang mengkaji hubungan di antara komunikasi dan kognisi. Konsep ad hoc yang merupakan konsep penting dalam teori ini akan dijadikan acuan bagi memastikan dapatan yang bersifat santifik, iaitu bukan sahaja melepasi tahap kepadaan pemerhatian observational adequacy dan kepadaan penghuraian descriptive adequacy bahkan mencakupi kepadaan penjelasan explanatory adequacy Chomsky 1970. Dapatan Kajian Menurut Zainal Abidin Bakar yang dipetik dalam Mohd Rosli Saludin 2011 188 pantun terbahagi kepada tiga jenis iaitu sudut khalayak, sudut bentuk dan sudut tema. Pertama ialah sudut khalayak. Sudut khalayak ialah penutur dan pendengar pantun yang terdiri daripada kanak-kanak, dewasa dan orang tua. Kedua ialah sudut bentuk. Dan ketiga ialah sudut tema. Terdapat sebelas tema dalam pantun iaitu, pantun adat dan resam manusia, pantun agama dan kepercayaan, pantun budi, pantun jenaka dan permainan, pantun teka-teki, pantun kepahlawanan, pantun nasihat dan pendidikan, pantun peribahasa dan perbilangan, pantun kias dan ibarat, pantun kembara dan perantauan, dan pantun percintaan. Pantun ialah sejenis puisi yang terikat, umumnya terdiri daripada empat baris serangkap, mempunyai rima akhir a-b-a-b. Setiap rangkap mempunyai pembayang dan maksud. Pantun boleh menjadi dua baris, empat baris, enam baris, dua belas baris dan seterusnya pantun berkait. Pantun mempunyai peranannya yang tersendiri dalam masyarakat Melayu. Antara peranan pantun menurut Mohd Rosli Saludin 2011 189 ialah 1. Alat untuk mendapat gambaran masyarakat, terutamanya sebagai gambaran minda dan pemikiran masyarakat Melayu, pandangan hidup, harapan, dan cita-cita. 2. Alat untuk menguji ketajaman minda dan kehalusan perasaan. Sebagai contoh pantun teka-teki, pantun peribahasa dan lain-lain. 3. Diperguna juga dalam kegiatan seni, keagamaan dan adat istiadat. 4. Digunakan untuk pendidikan sama ada untuk menyindir, kiasan atau berterus terang. 5. Alat untuk hiburan dan bahan untuk jenaka seperti pantun jenaka, pantun permainan dan lain-lain. 6. Alat untuk berkomunikasi untuk menyampaikan isi hati. Sebagai contoh sanjungan, pemujaan dan ucapan selamat kepada seseorang dalam majlis upacara atau majlis rasmi. Berdasarkan fungsi pantun di atas maka pantun mempunyai peranan yang tersendiri dalam memberikan pengaruh nilai yang baik dalam kehidupan masyarakat tradisi. Fenomena berpantun dalam kalangan masyarakat tradisi amat penting kerana ia berhubung kait dengan pancaran akal budi pemikiran masyarakat pada masa itu disamping memberi hiburan dan didaktik atau pengajaran kepada khalayak. Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 35 Masyarakat Melayu memilih untuk berkata-kata secara beralas dalam semua aspek kehidupan termasuk ketika menyampaikan kritikan. Oleh sebab kritikan itu tajam, maka disampaikan secara beralas dan berkias agar pihak yang mendengar tidak terasa hati sekali gus mampu menjaga air muka si pendengar. Orang Melayu sangat menjaga keharmonian dalam bermasyarakat, dan ini dibuktikan dengan cara mereka berbahasa. Pengarang pantun dan peribahasa menggunakan bahasa-bahasa figuratif atau kiasan seperti metafora, perumpamaan, tamsilan dan personifikasi yang lazimnya berkaitan dengan unsur alam. Pemilihan unsur alam ini dipengaruhi oleh latar hidup masyarakat Melayu pada zaman tersebut. Pengalaman budaya yang dikongsi oleh orang Melayu ini mendorong pemahaman yang baik dalam mentafsir makna pantun dan peribahasa yang disampaikan, kerana penutur dan pendengar berada dalam konteks yang sama. Apa yang lebih penting bagi si penutur adalah mesej yang ingin disampaikan melalui bahasa kiasan itu dapat diterima oleh si pendengar. Antara tema-tema kritikan sosial yang terdapat dalam pantun dan peribahasa Melayu adalah seperti percintaan, etika, kekeluargaan dan sifat-sifat manusia sama ada yang baik mahupun yang buruk. Dalam tema percintaan, kritikan atau peringatan yang sering diungkapkan adalah berkenaan tatasusila mencari dan memilih pasangan, menjaga kehormatan, menghargai pasangan, dan kesetiaan. Dalam aspek etika pula, kritikan sosial menunjukkan bahawa orang Melayu peka terhadap masyarakatnya sendiri, sentiasa menegur tingkah laku yang tidak bermoral dan sebagai teladan kepada generasi akan datang tentang tindakan yang wajar dan tidak wajar dilakukan. Masyarakat juga diberi panduan dalam mendidik anak-anak dan menghormati orang tua. Masyarakat Melayu turut mengecam sifat-sifat yang buruk agar tidak diikut dan dibiasakan dalam kehidupan misalnya sifat tamak, khianat, sombong, hasad dengki, malas, kedekut dan banyak lagi. Sifat-sifat mulia pula seperti bersopan-santun, rajin, berbudi, muafakat, berilmu, beradat dan lain-lain dipuji agar menjadi ikutan dan amalan sepanjang hayat. Secara umumnya, sifat-sifat yang mulia ini adalah berlandaskan akhlak yang baik mengikut ajaran Islam. Sebagaimana perbincangan hasil penemuan kajian-kajian di atas, kritikan sosial dalam pantun dan peribahasa lebih menjurus kepada pesanan, teguran dan nasihat dalam kalangan ahli masyarakat Melayu yang biasanya tinggal secara kolektif. Hanya sedikit ditemui pantun dan peribahasa yang secara khusus mengkritik pihak pemerintah atau pihak kerajaan dan pantun tersebut juga terkandung dalam hikayat atau cerita rakyat. Kritikan terhadap pihak pemerintah sebenarnya lebih tertumpu dalam genre prosa sama ada dalam bentuk karya lipur lara, cerita binatang, hikayat dan sastera sejarah. Ada beberapa data yang telah berjaya dikutip dalam pantun tersebut yang boleh dijadikan sumber data. Data ini seterusnya dikategorikan berdasarkan konsep eksplikatur dan implikatur. Dari sini akan terserlah kritikan sosial yang cuba dicungkil dari dahulu hingga kini oleh pengarang tradisi. Daripada data yang tersenarai, ada dua nilai yang boleh ditemui sebagai kritikan sosial dan dinyatakan dalam bentuk metafora iaitu Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 36 Kritikan Sosial Dalam Pantun Dan Teori Relevans Nilai adab Ini semua boleh digambarkan melalui ujaran eksplisit dan implisit. Contohnya, berkaitan dengan nilai adab. Dalam pantun Melayu banyak diujarkan tentang nilai adab yang perlu dipatuhi oleh masyarakat dan wujudnya pengajaran kepada masyarakat sekiranya sesuatu adab itu tidak dipatuhi. Ia mungkin akan dikenakan tekanan sosial oleh masyarakat, agama dan sistem adat itu sendiri. Maka, nilai yang baik dalam pantun Melayu boleh membentuk jati diri orang Melayu untuk menjadi lebih beradab dan baik. Contoh pantun tentang adab Data Eksplikatur Dan Implikatur Nilai Adab Kalau bertanak dengan menggulai Mengacau gulai pecah isinya Kalau gelak nak jangan mengilai Kalau mengilai rendah budinya. Tunjuk Ajar dalam Pantun Melayu 84 Biar orang mencabut cendawan Kita mencabut padi kan mati Biar orang berebut bangsawan Kita berebut budi pekerti Tunjuk Ajar dalam Pantun Melayu 109 Beberapa leksikal berbantukan konteks dalam teks di atas tidak bersifat harfiah. Metafora itu didatangkan oleh pengarang dengan tujuannya yang tersendiri, selari dengan tujuan pantun tersebut dicipta. Maka sudah pasti banyak makna tersirat yang perlu dicungkil. Melalui analisis ad-hoc yang boleh mencungkil makna metafora sama ada melalui penyempitan atau peluasan makna, bentuk-bentuk logik iaitu makna harfiah dikeluarkan, dan seterusnya andaian implikatur dan kesimpulannya dibina sebagaimana dalam jadual di bawah Kalau bertanak dengan menggulai Mengacau gulai pecah isinya Bertanak ialah perbuatan memasak nasi dan menggulai ialah perbuatan memasak lauk pauk Perbuatan memasak dan menggulai yang elok ialah memasak tidak mengacau-ngacau lauk pauk tersebut sehingga rosak dan hancur. Perbuatan gelak atau ketawa yang kuat dan mengilai itu melambangkan orang yang tiada adab dalam masyarakat Melayu Jadual 1 Interpretasi Data Nilai Adab Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 37 Biar orang mencabut cendawan Kita mencabut padi kan mati Cendawan boleh dicabut dan boleh hidup subur selepas dicabut tetapi padi tidak boleh dicabut kerana ia akan mati Perbuatan mencabut cendawan adalah biasa dalam masyarakat Melayu tetapi perbuatan mencabut padi adalah dilarang sama sekali Melambangkan orang yang mesti mementingkan budi pekerti melebihi kekayaan hidup seperti bangsawan Jadual 2 Interpretasi Data Nilai Adab Beberapa leksikal yang memainkan peranan penting untuk menyingkap metafora pantun ini dianalisis agar makna dan kritikan sosial yang ingin disampaikan oleh pengarang dapat dicapai. Eksplikatur dalam jadual-jadual di atas pada peringkat pemahaman semantiknya tidak menimbulkan apa-apa keraguan dan ketersiratan. Hal ini kerana interpretesi yang dilakukan tidak mengambil kira konteks yang melingkungi wacana tersebut. Bagi mengisi kelompongan tersebut, pendekatan pragmatik khususnya teori Relevans mampu mencari makna sebenar yang ingin disampaikan oleh pengarang menerusi metafora tersebut. Teori Relevans sangat mementingkan konteks dan kesan konteks, kerana dengan adanya kedua-dua konsep ini maklumat yang ingin disampaikan akan menjadi relevan sesuai, difahami dan diterima kepada pendengar. Ternyata pengarang Melayu tradisional walaupun tidak pernah mengenal sebarang teori linguistik pada zaman tersebut, mampu menepati konsep relevan ini dalam karya mereka. Contoh pantun di atas ialah mengenai adab dan perilaku seseorang supaya tidak ketawa dengan kuat sehingga mengilai, ia memberi gambaran tentang adab yang tidak baik dan wajar dihindari. Ia bersesuaian dengan agama Islam yang melarang kita daripada sifat riak, sombong dan takbur. Sikap ketawa dengan sekuat hati dan mengilai yang digambarkan boleh menyebabkan seseorang itu mudah menjadi sombong dan riak sehingga harga dirinya menjadi rendah pada pandangan masyarakat di sekelilingnya. Dalam Jadual 1, apabila bentuk logik bagi perbuatan gelak difahami dan digandingkan bersama eksplikatur, maka keraguan dan ketersiratan makna telah dapat dihidu oleh pembaca. Perbuatan gelak ialah perlakuan yang menimbulkan gelihati kepada seseorang individu. Dan seseorang itu boleh gelak dalam bermacam-macam cara. Namun begitu, dalam pantun ini gelak yang mengilai adalah dilarang sama sekali buktinya daripada leksikal dan frasa seperti rendah budinya mengukuhkan andaian pembaca lantas membina kesan kognitif dan mendorong kepada pemprosesan maklumat bahawa gelak sehingga mengilai adalah suatu perbuatan yang tidak elok. Frasa “kalau bertanak dengan menggulai, mengacau gulai pecah isinya” adalah metafora yang dapat dicapai melalui konsep ad hoc peluasan. Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 38 Nilai Malu Seterusnya menurut Wan Abdul Kadir 2000 56 konsep malu yang digunakan dalam masyarakat Melayu boleh membawa dua pengertian atau makna. Pertama, malu yang membawa pengertian segan atau kurang selesa untuk melakukan sesuatu. Misalnya malu bertanya sesat jalan, malu makan akan lapar, dan malu bekerja akan menjadi miskin. Sikap malu seperti ini amat merugikan seseorang dan boleh membawa kesan buruk. Perasaan malu yang timbul seperti itu boleh dianggap suatu sikap yang negatif dan boleh mempengaruhi orang Melayu menjadi lemah. Sikap malu seperti ini selalu pula difahami sebagaimana malu dalam maksud yang kedua, iaitu rasa malu kerana melakukan kesalahan. Antara pantun yang mengingatkan kita supaya tidak melakukan kesalahan-kesalahan ialah Tembuk labu di balik peti Daun cabai dipatuk balam Menengok Penghulu asyik berjudi Turun Wak Lebai menyabung ayam. Tunjuk Ajar dalam Pantun Melayu 141 Tembuk labu di balik peti Daun cabai dipatuk balam Labu dan daun cabai ialah sejenis buah dan tumbuh-tumbuhan Perbuatan menembuk labu secara bersembunyi di belakang peti dan daun cabai yang telah rosak akibat perbuatan dipatuk balam Melambangkan sikap pemimpin yang tidak patut dicontohi dan perilaku yang tidak baik. Jadual 3 Interpretasi Data Nilai Malu Sifat “malu” yang tinggi melambangkan wajah bangsa Melayu yang mempunyai jati diri yang baik. Tertanam di dalam pemikiran mereka bahawa kedua-dua nilai ini iaitu nilai adab dan nilai malu saling berhubungkait di antara satu sama lain. Sekiranya masyarakat Melayu melanggar tatasusila adab yang telah tertanam dalam pemikiran masyarakat Melayu sejak zaman dahulu lagi maka mereka akan menerima suatu tekanan sosial sama ada dari segi undang-undang, masyarakat dan agama. Konsep malu yang dipupuk dalam masyarakat Melayu adalah bersesuaian dengan nilai-nilai Islam, iaitu perasaan hina kerana melakukan penyelewengan atau kesalahan. Perasaan malu yang berkaitan dengan perlakuan-perlakuan yang boleh membawa malu kepada siri seseorang sangat ditekankan oleh orang-orang Melayu, terutama semasa mendidik anak-anak. Semasa kecil lagi anak-anak dididik supaya mereka dapat memahami dan membezakan perlakuan-perlakuan yang boleh membawa malu dan tidak. Perbuatan yang memalukan ialah apabila melibatkan dengan kes-kes penyelewengan atau kesalahan. Semakin besar kesalahan yang dilakukan oleh seseorang bermakna semakin meningkat perasaan malu yang dirasainya Wan Abdul Kadir, 2000 57. Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 39 Penutup Setelah data dianalisis menggunakan teori Relevans, terbukti bahawa kritikan sosial yang wujud dalam pantun Melayu tradisional bukanlah datang sebagai sebuah hiburan semata-mata sebaliknya mempunyai makna yang lebih mendalam. Pantun ini mempunyai unsur metafora sehingga dapat membentuk kritikan yang sinis dan tajam. Hal ini membuktikan bahawa pengarang Melayu tradisional adalah golongan cendekiawan dan peninggalan mereka perlu kita hargai dan banggakan, iaitu pantun Melayu. Justeru, nilai keindahan dan pengajaran yang terdapat dalam pantun Melayu menjadi suatu wadah sumber hiburan dan pemikiran masyarakat Melayu tradisi. Rujukan Abdullah Hassan. 1990. “Semiotik dan bahasa” dlm Kesusasteraan daripada Perspektif Semiotik. Supardy Muradi. Peny. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka 1992. Membaca dan Menilai Sastera. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Ahmad Fuad Mat Hassan. 2007. “Unsur Ironi dan Metafora dalam Pantun Melayu” dlm Seminar Pantun Melayu Semalam, Hari Ini dan Esok. Institut Alam dan Tamadun Melayu, Bangi Universiti Kebangsaan Malaysia, 6-7 Disember 2007. Chomsky. 1970. Current Issues in Linguistic Theory. Ed. Ke-5. Mouton The Hague. Ding Choo Ming. 2009. Manuskrip Melayu Sumber Maklumat Peribumi Melayu. Bangi Universiti Kebangsaan Malaysia. Harun Mat Piah 2000. Kesusasteraan Melayu Tradisional Edisi Kedua. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka Harun Mat Piah 2006. Kesusasteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Harun Jaafar. 2004. Ikhtisar Kebudayaan dan Prosa Melayu Klasik. Tanjung Malim Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris Haron Daud. 2001. Mantera Melayu Analisis Pemikiran. Pulau Pinang Universiti Sains Malaysia. Haron Daud. 2004. Ulit Mayang Kumpulan Mantera Melayu. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Hasan Mat Nor. 2007. Mantera, perbomohan dan pandangan semesta Melayu dari perspektif sosiologi dan antropologi. Pandangan Semesta Melayu Mantera. Rogayah & Mariyam Salim peny. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Hassan Ahmad. 2003. “Menemui Jati Diri Bangsa Melayu dalam Karya Agung Melayu” dlm. Sahlan Mohd Saman et. al Pnyt.. Persuratan Melayu Pemerkasaan Warisan Bangsa. Siri Seminar Antarabangsa Kesusasteraan Melayu VII. Pusat Pengajian Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu. Bangi Universiti Kebangsaan Malaysia Hassan Ahmad. 2003. Metafora Melayu Bagaimana Pemikir Melayu Mencipta Makna dan membentuk Epistemologinya. Bangi Akademi Kajian Ketamadunan. Hussain Othman. 2008. “Conceptual Understanding of Myths and Legends in Malay History”. Jurnal Sari. 26. hlm. 91-110. Bangi Universiti Kebangsaan Malaysia Ismail Hussein. 1974. The study of traditional Malay literature. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Kamus Dewan Edisi Keempat. 2007. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Kamaruddin M. Said. 2007. “Minda Orientalis dan Minda Pascakolonial Politik Membaca Hikayat Hang Tuah.” Akademika. 41-56. Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 40 Mazarul Hasan Mohamad Hanapi, Norazimah Zakaria & Mohd Rosli Saludin. 2015. “Bahasa dalam Mantera Mengikut Budaya Melayu” dlm Jurnal Rumpun. Tanjong Malim Persatuan Penulis Budiman Malaysia. Mazarul Hasan Mohamad Hanapi, Norazimah Zakaria, Norazilawati Abdullah, Mohd Amir Mohd Zahari, Dian Syahfitri, Norfaizah Abdul Jobar, Mohd Nazir Md Zabit. 2020. “The Use Of Multimedia Materials To Develop Higher Order Thinking Skills In Writing Of Bahasa Melayu Essay Among Orang Asli Primary School Students” in Solid State Technology. Volume 63 Issue 6 Mazarul Hasan Mohamad Hanapi, Norazimah Zakaria, Abdul Halim Ali. 2017. Fungsi dan Simbol dalam Mantera mengikut Konteks Budaya Melayu. EDUCATUM Journal of Social Sciences. Isu 1. Perak Penerbit UPSI Mana Sikana. 2012. Teori Sastera Kontemporari. Bangi Penerbit Pustaka Karya. Mohamad Hanapi, M. H., Zakaria, N., & Ali, A. 2017. Fungsi dan Simbol dalam Mantera Mengikut Konteks Budaya Melayu. EDUCATUM Journal of Social Sciences, 31, 21-29. Mohd. Taib Osman. 1988. Bunga Rampai Aspects of Malay Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur. Noriah Taslim. 2010. Lisan dan Tulisan Teks dan Budaya. Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur. Noriah Mohamed. 2006. Sentuhan Rasa dan Fikir dalam Puisi Melayu Tradisional. Bangi Universiti Kebangsaan Malaysia. Norazimah Zakaria. 2019. "The Beauty And Benefits Of Proverbs As A Symbol Of The Mind" in Journal Of Advance Research in Dynamical & Control Systems, Vol. 11, Special Issue-07 Norazimah Zakaria, Mazarul Hasan Mohamad Hanapi, Lajiman Janoory, Mohd Amir Mohd Zahari and Abdul Halim Ali. 2020. “Author’s Ethicsin The Writing Of Traditional Malay Literature” in Hamdard Islamicus, Vol. 43 No. 2020, p. 1998-2008. Islamicus/ Rogayah & Mariyam Salim peny. 2007. Pandangan Semesta Melayu Mantera. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. S. Othman Kelantan. 1997. Pemikiran Satira dalam Novel Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur. Siti Hawa Haji Salleh. 2009. Kelopak Pemikiran Sastera Melayu. Bangi Universiti Kebangsaan Malaysia. Sulalatus Salatin. 1996. Ahmad peny. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka Sperber, D. & Wilson, D. 1999. Relevans Komunikasi & Kognisi. Diterjemah oleh Nor Hashimah Jalaluddin. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Tenas Effendy. 2004. Tunjuk Ajar dalam pantun Melayu. Yogyakarta Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu Tenas Effendy. 2008. “Kearifan Orang Melayu Berbahasa.” Siri Syarahan Raja Ali Haji. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Umar Junus. 1989. Fiksyen dan Sejarah Suatu Dialog. Kuala LumpurDewan Bahasa dan Pustaka. Wan Abdul Kadir 2000. Tradisi dan Perubahan Norma dan Nilai di Kalangan Orang-Orang Melayu. Masfami Enterprise. Zakaria, N., Mohamad Hanapi, M. H., Harun, M., & Mohd, F. H. 2019. Mythical Elements Based on Traditional Malay Literature Text. International Journal of Humanities, Philosophy and Language, 1997, 78–87. Volume 3 Issue 6 March 2021 PP. 31-41 DOI Copyright © GLOBAL ACADEMIC EXCELLENCE M SDN BHD - All rights reserved 41 Zakaria, N., Mohamad Hanapi, M. H., Harun, Nur Farahkhanna Mohd Rosli, Azhar Wahid and Ani Omar. 2020. “Malay Authors Strategies in Displaying the Intelligence of the Figures and Its Effects in Traditional Malay Literary Texts” in International Journal of Innovation, Creativity and Change. Volume 11, Issue 5 Zakaria, N., Mohamad Hanapi, M. H., Harun, Hasrina Baharum and Siti Nor Amalina Ahmad Tajuddin. 2020. “The Universality of the Similarities and Differences between Malay and Chinese Mythologies” in TEST Engineering and Management Journal. March-April 2020. – 1548 Zakaria, N., Mohamad Hanapi, M. H., Alizah Lambri, Nordiana Hamzah and Normarini Norzan. 2019. “The Beauty And Benefits Of Proverbs As A Symbol Of The Mind” in Journal of Advance Research in Dynamical & Control Systems, Vol. 11, Special Issue-07 Zakaria, N., & Hanapi, M. H. M. 2020. “Keindahan Simbol dan Makna dalam Pantang Larang Masyarakat Melayu”. International Journal of Modern Trends in Social Sciences, 3 12, 01-12. DOI 312001 Zurinah Hassan, Salinah Ja‟afar & Tengku Intan Marlina Tengku Mohd Ali. 2008. “Kritik Sosial dalam Pantun Melayu Lambang Ketekalan Minda.” dlm Seminar Kebangsaan Puisi Melayu Tradisional. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka,. 24-25 November 2008. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this is a very dominant element in traditional Malay literature. The myths are not set forth in an unorganized manner or randomly, but instead are based on the belief patterns that are already in existence, and this reflects the connection of the society’s thinking with elements of animism that serve as the background of their lives before the arrival of other beliefs. Examples of the development of myth stories can be observed in hikayat literary works in traditional Malay literature like Hikayat Merong Mahawangsa and Sejarah Melayu. Meanwhile, examples of oral stories are those found in Cerita Rakyat Malaysia 2008. The aim of this article is to identify the functions of myths found in traditional Malay literature. This article will use the Sociology of Literature approach by Plummer, Ken 1997. The approach of this paper draws on to the questions of how myths became the belief of the society and what is the function of myths in traditional Malay literature texts. The functions of myths can be seen based on these questions. Elements of myths in historical works are narrations that are believed by the locals as actual occurrences that have happened in their locality in the past. Hence, the myth stories became the basis and answers to the inquisitiveness of the people of the past time. The other purpose is to uphold the royal dignity. In traditional literature, literature is viewed as the mirror of society and their documents. The role of myth stories is not only to explain their functions in the society but also to reveal the creativity of the writer or orator and the storyteller. But here, the presence of mythical elements explains to us the relationship of the work from the aspect of thoughts and the world view of that society in the past. Norazimah ZakariaMantera ialah karangan berangkap yang menerangkan world-view dan kosmos bagi manusia berhubung dengan makhluk-makhluk ghaib. Mantera menerangkan pemikiran tentang peranan dan kepentingan manusia untuk menguasai ilmu, menghayati alam sekitar, dan hubungan manusia dengan kehidupan, sebuah ekspresi intelektual serta memberi penekanan kepada keindahan dan kehalusannya iaitu dari segi budi dan bahasanya. Objektif makalah ini ialah pertama mengenal pasti fungsi mantera dalam masyarakat Melayu dan kedua mengenal pasti penggunaan simbol dalam mantera. Mantera mempunyai unsur simbolisme yang boleh dilihat melalui penggunaan bahasanya. Ia penting dalam mempengaruhi pemikiran seseorang individu untuk menjadi lebih sempurna dalam kehidupan mereka dan kehidupan bermasyarakat. Kajian ini bertitik tolak daripada teori semiotik Peirce yang mengemukakan tiga perkara iaitu ikon, indeks dan simbol. Dalam makalah ini, prinsip simbol akan digunakan untuk melihat pemilihan kata-kata dalam mantera sebagai cerminan lambang akal budi orang Melayu. Teori semiotik ini tidak akan dilihat sebagai dunia yang autonomous tetapi akan dihubungkan dengan konteks atau budaya masyarakat yang melahirkan mantera. Justeru keindahan kata-kata dalam mantera bukan sahaja terletak pada pilihan kata serta kalimatnya yang berima, tetapi terkandung di dalamnya makna dan falsafah yang sangat baik mewakili pancaran pemikiran masyarakat tradisi dahulu. Mantera juga dapat menerangkan pemikiran tentang peranan dan kepentingan manusia untuk menguasai ilmu, menghayati alam sekitar, dan hubungan manusia dengan kehidupan, sebuah ekspresi intelektual serta memberi penekanan kepada keindahan dan kehalusannya iaitu dari segi budi dan dan bahasa" dlm Kesusasteraan daripada Perspektif Semiotik. Supardy Muradi. PenyAbdullah HassanAbdullah Hassan. 1990. "Semiotik dan bahasa" dlm Kesusasteraan daripada Perspektif Semiotik. Supardy Muradi. Peny. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka 1992. Membaca dan Menilai Sastera. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Melayu Tradisional Edisi KeduaHarun Mat PiahHarun Mat Piah 2000. Kesusasteraan Melayu Tradisional Edisi Kedua. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan PustakaKesusasteraan Melayu TradisionalHarun Mat PiahHarun Mat Piah 2006. Kesusasteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Kebudayaan dan Prosa Melayu KlasikHarun JaafarHarun Jaafar. 2004. Ikhtisar Kebudayaan dan Prosa Melayu Klasik. Tanjung Malim Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris Agarmakin semarak, kamu juga bisa mengirimkan pantun-pantun bernuansa kemerdekaan ke media sosial. Bisa dipakai untuk postingan Facebook, WhatsApp, Instagram maupun media sosial lainnya. Berikut ini beberapa contoh pantun bertema kemerdekaan, cocok dijadikan postingan media sosial, dikutip dari laman Diedit dan Pelajarindo, Rabu (27/7/2022).
Uploaded byMfaeez Fiz 0% found this document useful 0 votes338 views2 pagesDescriptionpantun digunakan untuk kritikan sosial dalam masyarakatOriginal Titlekritikan sosialCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes338 views2 pagesKritikan SosialOriginal Titlekritikan sosialUploaded byMfaeez Fiz Descriptionpantun digunakan untuk kritikan sosial dalam masyarakatFull description
PANTUNSOSIAL Kalau harimau sedang mengaum Bunyinya sangat berirama Kalau ada ulangan umum Marilah kita belajar bersama Hati-hati menyeberang Jangan sampai titian patah Hati-hati di rantau orang Jangan sampai berbuat salah Banyak sayur dijual di pasar Banyak juga menjual ikan Kalau kamu sudah lapar Cepat cepatlah pergi makan Manis jangan lekas ditelan